Sunday, July 15, 2012

Pelarian Hanyalah Mitos

Move on, kata-kata itu mungkin sudah tak aneh kita dengar di era remaja galau saat ini. Biasanya kata move on banyak bergema ketika seseorang putus hubungan, sebuah kata yang menggambarkan usaha melupakan kekasih terdahulu. Ada berbagai cara untuk move on, diantaranya adalah dengan cara berkumpul bersama kawan, aktif di organisasi, fokus sekolah, mendekatkan diri pada agama, mencari pacar pelarian, mabuk-mabukan, atau bahkan dengan melakukan tindakan yang dapat merubah orientasi sexual. Terlalu panjang lebar jika semua cara move on harus dibahas satu persatu. Dalam kesempatan kali ini saya ingin memaparkan asumsi saya mengenai move on mencari pacar pelarian, yang menurut saya hanyalah sebuah mitos belaka.

Ketika mendengar kata pelarian, yang tersirat di kepala kita adalah akan ada seseorang yang menjadi korban perasaan dan dibuang begitu saja bagaikan sampah, jika proses melupakan kekasih terdahulu sudah selesai. Benarkah demikian? Saya akan menggambarkan bagaimana hubungan cinta pelarian dapat terjadi. Katakanlah ada seorang wanita yang baru putus dengan pacarnya, sebut saja wanita tersebut adalah B. Untuk melupakan kekasih terdahulunya, perempuan tersebut mencoba mencari pelarian, katakanlah pria yang menjadi pelarian adalah A. Dalam proses memilih A menjadi mesin penghilang ingatan, tentu saja B tidak memilihnya dengan lotere, pasti ada pertimbangan kenapa A menjadi pilihannya. Mungkin karena dia tampan, karena dia baik, karena dia seorang kawan dekat, atau mungkin karena dia adalah seorang anggota sebuah organisasi dimana mereka sering menghabiskan waktu bersama. Sekarang kita merubah mode kamera pada sudut pandang A. Saya rasa A sebagai objek pelarian bukan lah seorang cowboy atau gigolo yang dibayar perjam agar mau memberikan perhatian dan perawatan dalam sebuah misi pencucian otak. Saya rasa A sendiri sedikit atau banyak memiliki kepentingan terhadap B, entah karena B cantik, karena memang sudah ada rasa, atau bahkan mungkin karena iseng semata. Intinya proses cinta pelarian A dan B didasari kepentingan masing-masing dan rasa suka sama suka. Jadi, masihkah seorang yang dijadikan objek pelarian dianggap sebagai korban penipuan? Terlebih kemungkinan besar A dari awal sudah sangat mengetahui B baru putus dari pacarnya, dia mungkin sudah tahu modus dan konsekuensi dari mengambil tawaran untuk menjadi landasan pacu.

Ketika baru putus B mungkin masih menyimpan 100% rasa sayangnya kepada kekasih terdahulu, sebut saja sang mantan kekasih adalah C. Ketika dalam proses pelariannya bersama A, mereka mulai dengan berbincang bersama, bercanda tawa, saling melempar ejekan, dan alhasil rasa sayang terhadap C pun turun menjadi 90%. B masih tetap mengingat kekasih terdahulunya dengan presentase sebesar itu. A dan B seiring dengan berjalannya waktu merasa jauh lebih dekat satu sama lain, mereka makan bersama, berjalan-jalan, hingga akhirnya perasaan B yang tertinggal untuk C hanya bersisa 50%, proses pelarian mulai menunjukan hasil positif untuk A dan B. Katakanlah sudah sekitar dua bulan A dan berlari bersama. Mereka mulai berani mengumbar kemesraan di depan banyak orang tanpa merasa terbebani, C pun akhirnya hanya memiliki 20% saham perasaan di B, dan 80% saham perasaan cinta sudah terbagi-bagi. A memiliki saham yang paling banyak, mungkin sekitar 50% atau lebih. Akhirnya, walaupun B tidak dapat sepenuhnya melupakan perasaannya pada kekasih terdahulu, perasaan tersebut sudah berada di alam bawah sadar yang hanya akan popping out ketika A kesepian, tetapi akan buyar begitu saja ketika A memeluk. Ketika proses pelarian sudah membuat B melupakan C, lantas apakah B akan pergi dan mengatakan “Makasih ya A, sekarang aku udah ngelupain C, sekarang tugas kamu sudah selesai, kamu boleh pergi, bye”. Tentu saja tidak. Pada akhirnya perasaan B sudah sepenuhnya menjadi milik A. Status sebagai pelarian pun tidak lagi melekat karena justru B akan merasa sakit kehilangan orang yang selama ini mengantarnya pergi, mengajaknya makan bersama, bercengkrama bersama, bermesraan, memeluknya, menjadi pahlawan ketika B mengingat rasa sakit yang pernah diberikan C. Perasaan patah hati akan dirasakan B justru ketika A meninggalkannya, B sudah mulai kecanduan ‘obat penghilang ingatan’ yang secara rutin diberikan A. Jadi, apakah A yang dianggap sebagai pelarian perlu merasakan sakit hati? Toh pada akhirnya dia berhasil mendapatkan B.

Pelarian sendiri sebenarnya juga merupakan metode paling cocok untuk berlindung dari kejaran sang mantan jikalau orang yang telah menyakiti kita tersebut merasa menyesal dan ingin berubah demi membangun kembali rumah hubungan yang sempat hancur. Mengapa demikian? Ilustrasinya adalah seperti ini. Jika C katakanlah tersadar dan ingin kembali pada B, tentu saja B dengan segala traumanya akan berlindung dibalik kekarnya tubuh A, memegang baju A, diam dibelakang dengan pandangan kucing ketakutan sambil sesekali mengintip. Hal yang membuat C mundur mungkin bukan kekarnya tubuh A, tetapi ekspresi wajah takut B yang mencari perlindungan kepada A. Skenario ke dua yang membuat C sulit mendapatkan B adalah karena rasa tidak enak B meninggalkan A begitu saja yang sudah banyak berkorban, B secara tidak langsung sudah terikat dengan A. Dan, kemungkinan terakhir adalah karena C tidak kuasa menghampiri B yang sudah bahagia bersama A.

Intinya, pelarian hanyalah sebuah mitos belaka, tak peduli hubungan tersebut adalah sebuah hasil love insurance –dimana seseorang menyiapkan calon pengganti kekasihnya dari sejak hubungan masih dijalin dengan seseorang sebagai tindakan ‘berjaga-jaga’ jika dikemudian hari hubungannya dengan sang kekasih harus berakhir – atau pun berupa sebuah cinta yang datang lebih cepat dari matinya sel kecebong yang bergesekan dengan udara. Ketika kita memutuskan untuk membuka jalan untuk hubungan baru, hal tersebut sudah termasuk pada kategori move on. Setiap hubungan baru pasti membawa masa lalu yang kadarnya berbeda-beda, namun hal tersebut secara bengangsur-angsur akan menguap bersama karbonmonoksida yang mengepul seiring perputaran roda kendaraan bermotor.

Tentu saja apa yang saya paparkan diatas hanyalah sebuah asumsi subjektif yang tiap orang akan berbeda menanggapinya, terlebih hal tersebut merupakan hal yang berkenaan dengan perasaan. Jika anda memiliki pendapat berbeda atau tambahan, jangan sungkan-sungkan untuk memaparkannya.


-Assumption-

No comments:

Post a Comment