Move on, kata-kata itu mungkin sudah tak
aneh kita dengar di era remaja galau saat ini. Biasanya kata move on banyak bergema ketika seseorang
putus hubungan, sebuah kata yang menggambarkan usaha melupakan kekasih
terdahulu. Ada berbagai cara untuk move
on, diantaranya adalah dengan cara berkumpul bersama kawan, aktif di
organisasi, fokus sekolah, mendekatkan diri pada agama, mencari pacar pelarian,
mabuk-mabukan, atau bahkan dengan melakukan tindakan yang dapat merubah
orientasi sexual. Terlalu panjang lebar jika semua cara move on harus dibahas satu persatu. Dalam kesempatan kali ini saya
ingin memaparkan asumsi saya
mengenai move on mencari pacar
pelarian, yang menurut saya hanyalah sebuah mitos belaka.
Ketika mendengar kata pelarian, yang tersirat
di kepala kita adalah akan ada seseorang yang menjadi korban perasaan dan dibuang
begitu saja bagaikan sampah, jika proses melupakan kekasih terdahulu sudah
selesai. Benarkah demikian? Saya akan menggambarkan bagaimana hubungan cinta
pelarian dapat terjadi. Katakanlah ada seorang wanita yang baru putus dengan
pacarnya, sebut saja wanita tersebut adalah B. Untuk melupakan kekasih
terdahulunya, perempuan tersebut mencoba mencari pelarian, katakanlah pria yang
menjadi pelarian adalah A. Dalam proses memilih A menjadi mesin penghilang
ingatan, tentu saja B tidak memilihnya dengan lotere, pasti ada pertimbangan
kenapa A menjadi pilihannya. Mungkin karena dia tampan, karena dia baik, karena
dia seorang kawan dekat, atau mungkin karena dia adalah seorang anggota sebuah
organisasi dimana mereka sering menghabiskan waktu bersama. Sekarang kita
merubah mode kamera pada sudut pandang A. Saya rasa A sebagai objek pelarian
bukan lah seorang cowboy atau gigolo
yang dibayar perjam agar mau memberikan perhatian dan perawatan dalam sebuah
misi pencucian otak. Saya rasa A sendiri sedikit atau banyak memiliki
kepentingan terhadap B, entah karena B cantik, karena memang sudah ada rasa,
atau bahkan mungkin karena iseng semata. Intinya proses cinta pelarian A dan B
didasari kepentingan masing-masing dan rasa suka sama suka. Jadi, masihkah
seorang yang dijadikan objek pelarian dianggap sebagai korban penipuan?
Terlebih kemungkinan besar A dari awal sudah sangat mengetahui B baru putus
dari pacarnya, dia mungkin sudah tahu modus dan konsekuensi dari mengambil
tawaran untuk menjadi landasan pacu.
Ketika baru putus B mungkin masih menyimpan
100% rasa sayangnya kepada kekasih terdahulu, sebut saja sang mantan kekasih
adalah C. Ketika dalam proses pelariannya bersama A, mereka mulai dengan berbincang
bersama, bercanda tawa, saling melempar ejekan, dan alhasil rasa sayang terhadap
C pun turun menjadi 90%. B masih tetap mengingat kekasih terdahulunya dengan
presentase sebesar itu. A dan B seiring dengan berjalannya waktu merasa jauh
lebih dekat satu sama lain, mereka makan bersama, berjalan-jalan, hingga
akhirnya perasaan B yang tertinggal untuk C hanya bersisa 50%, proses pelarian
mulai menunjukan hasil positif untuk A dan B. Katakanlah sudah sekitar dua
bulan A dan berlari bersama. Mereka mulai berani mengumbar kemesraan di depan
banyak orang tanpa merasa terbebani, C pun akhirnya hanya memiliki 20% saham
perasaan di B, dan 80% saham perasaan cinta sudah terbagi-bagi. A
memiliki saham yang paling banyak, mungkin sekitar 50% atau lebih. Akhirnya,
walaupun B tidak dapat sepenuhnya melupakan perasaannya pada kekasih terdahulu,
perasaan tersebut sudah berada di alam bawah sadar yang hanya akan popping out ketika A kesepian, tetapi akan
buyar begitu saja ketika A memeluk. Ketika proses pelarian sudah membuat
B melupakan C, lantas apakah B akan pergi dan mengatakan “Makasih ya A,
sekarang aku udah ngelupain C, sekarang tugas kamu sudah selesai, kamu boleh
pergi, bye”. Tentu saja tidak. Pada
akhirnya perasaan B sudah sepenuhnya menjadi milik A. Status sebagai
pelarian pun tidak lagi melekat karena justru B akan merasa sakit kehilangan
orang yang selama ini mengantarnya pergi, mengajaknya makan bersama,
bercengkrama bersama, bermesraan, memeluknya, menjadi pahlawan ketika B
mengingat rasa sakit yang pernah diberikan C. Perasaan patah hati akan
dirasakan B justru ketika A meninggalkannya, B sudah mulai kecanduan ‘obat penghilang ingatan’
yang secara rutin diberikan A. Jadi, apakah A yang dianggap sebagai pelarian
perlu merasakan sakit hati? Toh pada akhirnya dia berhasil mendapatkan B.
Pelarian sendiri sebenarnya juga merupakan
metode paling cocok untuk berlindung dari kejaran sang mantan jikalau orang
yang telah menyakiti kita tersebut merasa menyesal dan ingin berubah demi
membangun kembali rumah hubungan yang sempat hancur. Mengapa demikian?
Ilustrasinya adalah seperti ini. Jika C katakanlah tersadar dan ingin kembali
pada B, tentu saja B dengan segala traumanya akan berlindung dibalik kekarnya tubuh
A, memegang baju A, diam dibelakang dengan pandangan kucing ketakutan sambil
sesekali mengintip. Hal yang membuat C mundur mungkin bukan kekarnya tubuh A,
tetapi ekspresi wajah takut B yang mencari perlindungan kepada A. Skenario ke
dua yang membuat C sulit mendapatkan B adalah karena rasa tidak enak B
meninggalkan A begitu saja yang sudah banyak berkorban, B secara tidak langsung
sudah terikat dengan A. Dan, kemungkinan terakhir adalah karena C tidak kuasa
menghampiri B yang sudah bahagia bersama A.
Intinya, pelarian hanyalah sebuah mitos belaka,
tak peduli hubungan tersebut adalah sebuah hasil love insurance –dimana seseorang menyiapkan calon pengganti kekasihnya dari sejak hubungan masih
dijalin dengan seseorang sebagai tindakan ‘berjaga-jaga’ jika dikemudian hari
hubungannya dengan sang kekasih harus berakhir – atau pun berupa sebuah cinta
yang datang lebih cepat dari matinya sel kecebong yang bergesekan dengan udara.
Ketika kita memutuskan untuk membuka jalan untuk hubungan baru, hal tersebut
sudah termasuk pada kategori move on.
Setiap hubungan baru pasti membawa masa lalu yang kadarnya berbeda-beda, namun hal
tersebut secara bengangsur-angsur akan menguap bersama karbonmonoksida
yang mengepul seiring perputaran roda kendaraan
bermotor.
Tentu saja apa yang saya paparkan diatas
hanyalah sebuah asumsi subjektif yang tiap orang akan berbeda menanggapinya, terlebih
hal tersebut merupakan hal yang berkenaan dengan perasaan. Jika anda memiliki
pendapat berbeda atau tambahan, jangan sungkan-sungkan untuk memaparkannya.
-Assumption-
No comments:
Post a Comment