Kesunyian pagi hari dipecahkan oleh tabuhan
genderang doger monyet yang menggelar pertunjukan di depan halaman rumah salah
satu warga desa Sukamulya. Pertunjukan jalanan yang sering saya jumpai di bawah
flyover Pasteur ini entah kenapa terasa berbeda, mungkin karena pertunjukan
pagi itu tidak mengikutsertakan tabuhan knalpot dan klakson kendaraan bermotor
yang biasanya menjadi instrumen tambahan pertunjukan sejenis ini di kota-kota
besar.
11 Juli 2012 tim KKN desa Sukamulya hanya
melakukan rutinitas harian yang sudah pernah saya ceritakan sebelumnya. Hal
menarik untuk diceritakan justru saya temukan ketika berbincang dengan beberapa
warga yang banyak menolong kami ketika ber-KKN ria di desa terbesar kecamatan
Pagaden ini. Adalah bapak Awan dan istrinya, tetangga sebelah rumah yang banyak
membantu kami dalam berbagai hal, salah satunya adalah air yang kami gunakan
untuk berbagai macam keperluan harian secara cuma-cuma. Keluarga pak Awan adalah
keluarga yang sederhana, tidak ada sama sekali kilauan kemewahan bergemerlap
jika melihat profil keluarga ini. Pria paruh baya yang pekerjaan terakhirnya
seorang supir kendaraan kontainer jalur pantura ini menanggapi perkenalan kami
dengan menceritakan jika sebenarnya mereka juga mempunyai seorang keponakan
yang pernah kuliah di UPI, seorang anak yang mereka usahakan sekuat tenaga untuk
bisa lulus sekolah hingga jenjang S2. Diceritakan juga jika sang anak tidak
malu-malu mengenakan sepatu seharga dua puluh ribu rupiah, sepasang sepatu yang
hanya mereka mampu belikan saat itu, merk sepatu yang bahkan kebanyakan anak SD
jaman sekarang tidak mau mengenakannya.
Selain itu saya mendapatkan pelajaran kehidupan
lain dari bu Nelsi, wanita tua yang sehari-hari mencari kehidupan dari barang
dan makanan yang dijual di warungnya. Ibu pemilik warung ini tinggal bersama
seorang anak perempuan yang sudah ditinggal suaminya, juga seorang cucu yang
masih mengenyam pendidikan di bangku SMP. Makanan yang dijual di warung bu
Nelsi terhitung sangat murah, sepiring nasi, ikan asin, dan tahu dihargai hanya
dua ribu rupiah, kalau di Bandung nasi saja sudah dihargai dua ribu lima ratus
rupiah per piringnya. Beliau mengatakan jika makanan yang dia jual tetap lah
harga normal, berbeda dengan banyak warung desa yang memasang tarif spesial untuk para mahasiswa dari kota yang datang menetap selama beberapa hari di desa
mereka.
Alasan dan motivasi keluarga bapak Awan dan bu Nelsi untuk berbuat demikian adalah karena mereka sadar jika mereka juga mempunyai anak-anak yang mungkin akan merasakan hal yang sama dengan kami di masa yang akan datang. “Nya jang, da ibu ge rumasa kamari si eneng teh meni karunya dipentaan itu ieu kanggo KKN, teu raos ari kitu teh, matak sok we ujang bisi butuh cai atanapi nanaon mah tinggal nyarios we” ujar bu Awan ketika kami berkata ‘maaf merepotkan’. “Ibu ge rumaos gaduh incu SMP keneh, nya sugan we ke ditulungan mun bisa jiga ujang, kuliah” tanggap bu Nelsi ketika kami menyatakan jika makanan yang dia jual murah sekali. Mereka percaya bahwa dengan berbuat baik kepada orang lain, karunia Tuhan pun juga akan turun pada mereka atau keluarga mereka kelak. Saya sendiri yakin keluarga bapak Awan dan bu Nelsi akan mendapatkan kebaikan di masa yang akan datang, karena kebaikan bergerak di dalam sebuah siklus.
No comments:
Post a Comment