Saturday, January 23, 2010

Camping

When a holiday in senior high school came, my friends and I decided to go camping. A day before, I prepared all things that I had to bring like a Jacket, food, firewood, medicine etc. We made an appointment that we would gather at 03.00 P.m. I realized that in camping we would stay awake late at night, so I decided to take a nap. Unfortunately I overslept and when I looked at my mobile phone there were many messages and miscalls from my friends who were waiting for me. Hurriedly I woke up, took all of the necessary things, and went to meet my friends.

After gathering, immediately we went to Kebun Raya Cibodas Pangrango. It was one of famous tourism objects in my town. The air was so fresh, the scenery was so beautiful and There were many facilities such as gardens, picnic areas, camping ground, water falls, cafeterias, souvenir shops, etc. of course we went to camping ground because we wanted to go camping. Arriving at the camping ground in early evening we prepared the tents immediately because the night was about to come.

The tent preparation had finished when the night came. we prayed maghrib together with the ground as the floor and the sky as the roof. Then we chatted, laughed, sang songs, told funny stories, got dinner and made a bonfire while enjoying the view of the night sky. Although the temperature was so cold the situation at that time was so enjoyable, exiting and amazing, we spent the night almost without sleep. We slept at 03.00 P.M on the air bed.

The rising sun touched our face, opened our eyes and woke us up in the morning with bright sky. We woke up, washed our face and made some food for breakfast. The breakfast wasn’t so luxurious and delicious. It was just a potluck but we ate it with ravenously because jokes and fun became the spices and additional flavors. Then we wandered around the area and took some photos. Some of my friends and I went to small forest near the area, it wasn’t like the jungle but the trees and bushes were so dense. We wandered more deeply through the forest just like ‘Si bolang’ did, and of course we took some photos as proofs that we were there.

After wandering inside the small forest we came back to the camp. There were several of my friends who used the air bed as a ship and they were flowing in the middle of the lake and they just used their sandals as the paddles. At first glance I thought that it was so dangerous and could risk our life because the lake was so deep and when we fell down to the lake we would drown and maybe we would die. I continued watching them flowing in the middle of the lake, they looked so happy, they smiled, they waved their hands to me and called me to join them. Finally I joint them. They came to the edge of the lake and picked me up. When I set my foot on the ‘ship’ I was so scary because they shook the ship to tease me. But gradually I could control my fear and enjoy the situation. We paddled the ship farther into the middle of the lake with our sandals.

The day came, the sun started to rose the temperature, we felt so tired and we decided to untie the tents and clean the environment which we messed up. Then we prepared to leave the camping ground. after the preparation had finished we gathered and took a photo to perpetuate this moment.

Wednesday, January 13, 2010

Nothing is Impossible

By : Ihsan Nur Iman Faris

Panas sinar matahari sangat menyengat siang itu, membuat hampir setiap orang yang bergerak di bawah naungannya bermandikan keringat. Tapi itu semua tidak menyurutkan semangat siswa-siswa SMA Cipanas International School untuk bermain bola dan berlatih untuk menghadapi kejuaraan sepak bola yang akan dihadapi 2 bulan yang akan datang.

Adi, salah satu siswa kelas 2 SMA tersebut berniat untuk pulang ke rumah karena kala itu kegiatan belajar-mengajar di sekolah telah usai. Jika hendak pulang, tentu saja semua siswa harus menyusuri pinggir lapangan sepak bola yang letaknya tepat sebelum gerbang masuk dan keluar sekolah tersebut . Dengan tubuh kurusnya, buku tebal didekap didada, kaca mata tebal, baju dimasukan rapi kedalam celana, dan potongan rambut rapi ala SBY, dia berjalan menunduk, menunjukan rasa lelah dikarenakan kegiatan belajar yang padat. Memang Adi mendapatkan rasa capek yang lebih dari siswa yang pada saat itu bermain bola karena Adi mengikuti kursus Fisika, Kimia, Matematika, dan Astronomi yang diadakan di sekolah tersebut.

Adi sesekali menengok ke arah lapangan sepak bola. Tatapannya begitu penuh harap, dalam hatinya dia berharap dapat bermain bola seperti mereka. Tapi tatapannya itu dia akhiri dengan menunduk dan menggelengkan kepala. Dalam hatinya selalu teringat dan terngiang-ngiang perkataan ibunya “ Di, kamu nanti kalau sekolah harus selalu masuk tiga besar ya, oleh karena itu kamu harus banyak ikut kursus, ikut bimbingan belajar, dan ikut seminar. Kamu tidak perlu banyak ikut kegiatan olah raga, kamu tidak cocok dengan semua itu, terlebih lagi ibu takut kamu terluka dan tidak bisa sekolah untuk waktu yang cukup lama. Semua itu akan menjadi kerugian untuk kamu dimasa depan”. Semua perkataan ibunya mungkin bisa dikatakan benar adanya karena dalam mata pelajaran olah raga Adi selalu mendapat nilai pas-pasan dan dia pun selalu menjadi bahan lawakan teman-temannya karena gerakannya yang kik-kuk. Tiba – tiba saat dia berjalan, si kulit bundar dengan cepat memotong langkahnya sehingga dia kaget dan hampir terjatuh. Bola itu menggelinding cukup jauh dari para pemain bola, tapi cukup dekat dari tempat Adi berdiri. Orang –orang di lapangan berteriak kepadanya “ oi, kamu . . .ayo tending bolanya kemari “ Adi pun terlihat bingung karena dia hampir sama sekali belum pernah menendang bola dikarenakan dia belum pernah ikut bergabung jika temannya bermain bola. Orang-orang dilapangan terus berteriak semakin lama semakin kencang, dan raut wajah mereka pun semakin kesal. Alex, sang kapten dengan nomor punggung 10, berbadan tegap berparas tampan ,berpostur ideal dan sangat gagah tersenyum ke arah Adi dan berkata “ ayo tendang saja, jangan ragu itu hanyalah hal yang mudah, kamu pun pasti bisa” Alex berkata sambil melambaikan tangannya seakan menyemangati Adi untuk menendang bola itu. Adi pun mengambil bola, dengan penuh tekad, wajahnya berubah serius, tatapannya tajam ke arah bola, dia melemparkan ransel dan bukunya ke tanah, dia pun bersiap menendang bola dengan kuda-kuda yang hampir sama dengan Kapten Tsubasa, seluruh tenaga dia pusatkan di kakinya, dia menendang bola dan . . .
“ Gubrak” dia terjatuh dengan kencang membentuk sudut 270ยบ. Dia pun merintih kesakitan, sementara bola tidak beranjak kemanapun. Semua orang yang bermain sepak bola pada saat itu menertawakan kejadian yang menimpa Adi kecuali sang kapten, Alex. Dia memperlihatkan wajah kecewa sekaligus wajah kasihan, dia berpikir itu semua salahnya, seharusnya dia sendiri yang mengambil bola itu walaupun ada orang yang lebih dekat untuk mengambil bola tersebut. Wajah Adi pucat, hampir sekujur tubuhnya terasa sakit, tapi hal yang paling membuat sakit bukanlah luka yang ada ditubuhnya, melainkan olok – olok dan tertawaan dari orang yang ada di sekelilingnya. Dani, salah seorang pemain bola yang kala itu berlatih pun mengambil bola itu sendiri dan dia mengatakan kata-kata yang sangat tidak berkenan dihati Adi “ huh dasar kutu buku, menendang bola saja tidak bisa, olahraga memang hal yang tidak cocok buat kamu, lebih baik kamu belajar fisika sampai otakmu mengeluarkan asap saja, itu lebih cocok bagi kamu” perkataan Dani diakhiri dengan tawa yang puas, mereka pun melanjutkan kembali bermain bola dengan tawa dan olok-olok terhadap Adi masih tersisa. Adi pun dengan menunduk dan kecewa pun terus berjalan meninggalkan mereka, dalam hatinya dia terus berkata “ hal ini memang tidak cocok denganku” Alex menatap punggung Adi dengan rasa kasihan matanya terus mengikuti langkahnya hingga gerbang sekolah, setelah itu dia pun kembali meneruskan bermain bola.

Sesampainya di rumah Adi melepas sepatunya di teras rumah, terdengar langkah kaki ibunya menghampiri. Seketika sang ibu merasa kaget mendapati sang anak tercinta pulang dengan keadaan kotor dan memar hampir disekujur tubuhnya. Sang ibu pun bertanya “ Adi ? kenapa tubuhmu bisa kotor dan memar begini ? “ dengan suara yang pelan dan lemas Adi menjawab “ saya jatuh bu di jalan, saya tidak hati-hati saat berjalan, saya menyandung batu yang ada di jalanan, dan beginilah bu akhirnya” Adi berbohong. “ oh . . .ibu kira kamu habis berolahraga . . .kamu harusnya berhati-hati nak, jalanan adalah tempat yang berbahaya bagi anak seperti kamu, ayo cepat ganti baju dan obati luka kamu, nanti malam kan kamu harus belajar lagi. Ngomong-ngomong bagaimana tadi les fisikanya? Sang ibu menanyakannya dengan wajah penuh ingin tahu. “ ya seperti biasa bu, saya bisa mengikutinya dengan baik” dengan sedikit mengeluh Adi menjawab. Dengan tangan berada di dada dan tersenyum sang ibu berkata “ wah anak ibu memang pintar, bapakmu yang sedang berkerja di Australi pasti senang mendengar anaknya seperti itu”. Pembicaraan itu pun selesai, mereka berdua pun masuk ke rumah. Adi segera mandi, membersihkan luka, dan setelah itu dia mengunci diri di kamar. Sang ibu menyangka putra tercintanya sedang asyik belajar.

Adi terus merenung, menatap langit-langit kamarnya sambil menjadikan kedua tangannya sebagai bantalan. Dalam hati dia terus berpikir “ sepak bola itu tak cocok bagi diriku . . .” dia terus berpikir begitu, tapi dalam lubuk hati terdalamnya dia merasa sangat sedih karena sebenarnya dia sangat menyenangi sepak bola dari semenjak dia kecil.Sayangnya dia hanya dapat menikmatinya hanya sebagai penonton saja, dia ingin sekali merasakan langsung ketegangan dan kenikmatan bermain bola sebagai pemain. Hal itu mulai menjadi sekedar mimpi belaka bagi dirinya, tatkala sang ibu terus memaksanya untuk belajar dan konsentrasi pada prestasi akademik. Perasaan kecewa dan gelisah terus menyelimuti hatinya malam itu, tetapi dia memaksakan diri untuk tidur cepat karena besok pagi-pagi sekali dia harus menghadiri seminar fisika yang diadakan dari tempat yang cukup jauh dari rumahnya.

Pagi pun tiba, Adi terbangun oleh bunyi alarm handphone miliknya. Dia pun bersegera mandi dan sarapan, setelah itu dia bergegas pergi menuju tempat diadakannya seminar yang akan dimulai pada pukul 09.00. Pada saat itu jarum jam menunjukan pukul 06.30, Adi merasa masih banyak waktu untuk bersantai, dia pun memutuskan untuk sejenak berjalan-jalan sebelum dia mencari kendaraan umum yang membawanya ke tempat seminar. “ Jalan – jalan sejenak mungkin akan memperbaiki kondisi hatiku, selain itu hal itu juga baik untukku yang sangat kurang berolah raga ini” Adi bergumam. Adi berjalan dengan memasukkan kedua tangannya kedalam saku, dia berjalan dengan santai sambil memperhatikan sekitarnya. Pada hari itu kebetulan sekolah Adi sedang libur karena disekolahnya sedang diadakan try out untuk kelas 3 yang akan menghadapi ujian nasional. Adi terus berjalan dan berjalan. Tak lama, setelah merasa capek Adi memutuskan untuk mencari kendaraan umum dan pergi menuju seminar. Dia berhenti didepan sebuah lapangan sepak bola. Di tempat itu samar-samar dari kejauhan dia melihat seorang pria yang sedang berlatih sepak bola sendirian dengan penuh semangat, sekujur tubuhnya penuh dengan keringat. Ternyata yang dia lihat itu Alex, kapten tim sepak bola sekolahnya. Dalam hati dia bertanya “ mengapa dia harus berlatih sepagi ini? padahal kan ini hari libur, terlebih lagi aku kira dia orang dengan bakat sepak bola yang hebat yang tidak perlu lagi banyak berlatih”. Kendaraan demi kendaraan terus lewat di depan Adi. Mengelaksoni dan menawarkan jasa untuk mengantarkannya ke tempat tujuan, tetapi Adi terus menolaknya dan dengan serius memperhatikan Alex yang sedang berlatih keras. Alex terus berlatih, dia terus melatih tendangan kaki kanannya. Dia menendang bola kesana kemari. Tendangannya sangat bertenaga, sampai-sampai dapat mengeluarkan bunyi hentakan yang sangat keras. Adi sangat terkagum – kagum dengan ‘spirit’ yang dimiliki oleh Alex dalam berlatih, dia berharap dapat memiliki semangat yang sama dengannya. Tiba-tiba bola yang ditendang Alex melenceng keluar lapangan dan menyebrang jalan menuju tempat Adi berdiri. Alex pun menoleh mengikuti arah perginya bola, dan saat itu dia menyadari keberadaan Adi yang sedang berdiri dipinggir jalan. Alex melambaikan tangan dan berteriak sambil tersenyum “ Oi . . .kamu yang kemarin kan? Ayo kemari temani aku berlatih, tapi sebelumnnya bisakah kau tendang bola yang ada di depan mu itu kemari? “ mendengar perintah seperti itu lagi Adi merasa tercengang, kaget, dan teringat peristiwa yang kemarin terjadi. Dia merasa bingung dan takut untuk menendang bola itu, tetapi jika dia tidak memberikan bola itu kepada Alex, dia takut menyakiti dan menyinggung perasaan Alex. Adi hanya terdiam memandangi bola, sementara Alex merasa bingung melihat apa yang dilakukan oleh Adi. Akhirnya Adi mengambil keputusan. Dia akhirnya menyentuh bola itu dengan tangannya, mencengkramnya dengan kedua tangannya dan membawanya ke Alex berserta dengan seluruh anggota tubuhya, dia menghampiri Alex dan berkata “ maaf, ini bolanya”.

Alex menepuk pundak Adi dan berkata “ kau tidak seharusnya berputus asa seperti itu, kau harusnya lebih percaya diri”. Adi menjawab sambil menunduk “ mungkin bagi kamu, orang yang memiliki bakat dan talenta yang luar biasa sangatlah mudah melakukannya, lagipula sepak bola memang tak cocok bagiku. Aku tidak mungkin dapat bermain sepak bola”. Dengan tersenyum Alex menjawab “ ada batasan untuk orang yang berbakat, tetapi tidak ada batasan untuk orang yang berkerja keras, selain itu kau tidak pandai bermain sepak bola bukan karena sepak bola tidak cocok denganmu , tetapi karena kau belum melakukan banyak usaha untuk bisa bermain sepak bola, teruslah berusaha karena tak ada yang tak mungkin jika kita mau berusaha”. Dari situ Adi merenung. Ia pun tersadar dan terpacu hatinya untuk dapat bermain sepak bola. Setelah pertemuannya dengan Alex tersebut Adi memutuskan untuk terus berlatih dan berlatih agar pandai bermain sepak bola.

Saturday, January 9, 2010

Entah

entah
blog ini sering dikunjungi atau tidak
entah
blog ini memenuhi kriteria standar atau tidak
entah
tulisan diblog ini berkualitas atau tidak
entah
dosen yang bersangkutan pernah melirik blog ini atau tidak
entah
nilai mata kuliah bahasa Indonesia saya akan bagus atau tidak
entahlah . . .
saya tidak tahu pasti . . .

Yang pasti . . .
saya akan coba untuk terus menulis dan bertahan hidup

" Nyerat atawa sakarat"

Wednesday, January 6, 2010

My Confusion

I hate loneliness,
but it loves me,
covers me in silence
provides me much time
makes my thought lighter, 

That's because I don't have to think about her instead of me.
By the time, I become used to this circumstances,
the loneliness keeps saying,
"you don't need love this time it will just be the burdens and problems for you"
It keeps tempting
"C'mon think of it, I will provide you much time, friends, freedoms, and happiness"

It tries to reach deeper to my deepest heart,
It whispers, but it sounds clear, and it almost takes control of my mind,
"love will only bind you in chain, and I will break you unchained".

However,
deep inside my little deepest heart,
there is a voice, which says that
"I need her".

The clash in my mind is inevitable, it makes me confused,
love grabs my right hand softly, it feels warm and soft. 
according to my heart of heart, it's right.
The loneliness forcefully pulls my left arm, it's  indelicate and rough,   
but logically it is right, even though it hurts me so much,

I have to end this confusion

I have to decide,
then I have decided.




treasure.com.pk

Sunday, January 3, 2010

Tujuanku Kuliah

Kuliah, mungkin kata-kata itu adalah hal yang paling sering dibicarakan dikalangan siswa SMA kelas 3 semester akhir. Topik mengenai kuliah ditanggapi beragam oleh berbagai siswa, ada seorang siswi yang menanggapi bahwa kuliah itu tidak penting, karena toh dimasa depan nanti dia akan menjadi seorang istri yang pekerjaan utamanya adalah sebagai ibu rumah tangga, ada yang menanggapi kalau kuliah itu mahal dan hanya membuang-buang uang, dan dia lebih memilih untuk berkerja sebagai buruh disebuah pabrik seusai lulus. Ada yang menanggapi kuliah itu bisa dimana saja yang penting adalah diri kita yang melakoninya. Ada yang menanggapi kuliah itu harus di Universitas terkemuka agar kelak kita dibantu oleh gengsi universitas kita saat kita hendak mencari pekerjaan.Ada yang menanggapi kuliah itu hanya sebagai pengisi waktu luang saja, daripada menganggur atau menjadi buruh disebuah pabrik.

Tanggapanku adalah tanggapan yang terakhir, karena aku tidak mau menganggur dan saya merasa gengsi jika harus berkerja sebagai seorang 'pesuruh' disebuah perusahaan.

Awalnya aku mencoba PMDK ke sebuah Universitas di Bogor. Pertimbanganku memilih Bogor adalah karena terdapat saudara disana dan karena tidak terlalu jauh dari rumah, sehingga aku dapat pulang lebih sering. Selama 1 bulan lamanya aku menunggu hasil pengumuman PMDK dari universitas tersebut. Betapa kecewanya aku ketika mengetahui namaku tidak berada dalam daftar siswa yang lulus PMDK ke Universitas tersebut. Aku bingung harus masuk ke Universitas mana ketikaku lulus, yang pasti Aku menyatakan tidak mau masuk ke universitas 'luar negeri' kepada orangtuaku.

Aku pun mencari informasi mengenai jalur masuk universitas, dan menemukan jalur masuk UM-UPI. Aku mencoba memahami cara masuk Universitas ini melalui jalur ini. Akhirnya kumengerti inti dari jalur masuk ini adalah biaya yang besar.
Aku memberitahukan hal ini kepada orangtuaku. Mereka sempat ragu dan menawarkan jalur SNMPTN atau masuk Universitas Swasta. Aku menolak kedua tawaran tersebut dikarenakan aku merasa tidak memiliki cukup kemampuan untuk bersaing dengan ribuan orang diseluruh Indonesia. sementara itu, alasanku menolak universitas swasta adalah karena 'gengsi'.

Mereka akhirnya mengizinkan aku untuk mengikuti test UM-UPI. Saya pun lulus dan merasa sangat gembira karena tidak perlu masuk ke Universitas swasta. Orangtuaku pun sangat merasa gembira tatkala mendengar kabar kelulusan dariku. Orang tuaku pun diwajibkan untuk membayar dana yang sangat besar yang kurasa menjual sebuah motor bebek saja tidak akan cukup menutupi biaya tersebut. Hari terus berlalu dan jangka waktu pembayaran pun semakin sempit.Aku merasa sangat khawatir, khawatir jika keberhasilanku masuk Universitas ini sirna dikarenakan tidak adanya biaya. Tiga hari sebelum batas akhir waktu pembayaran aku mendapat pesan singkat dari ibuku yang berkata "uang pembayaran pendaftarab udah dibayar ke Bank". Betapa senangnya hatiku ketika mendengar berita tersebut,tetapi aku merenung "darimana mereka dapat uang sebesar itu? pasti mereka meminjam dari orang lain". Seketika itu pula wajahku berubah pucat dan sedih, aku merasa menjadi seorang anak yang menjadi beban berat bagi orangtuaku. Dikamar aku meneteskan air mata,menyesali keputusan orangtuaku.

Orangtuaku pun datang menghampiriku dan bertanya, " kenapa kamu menangis" aku menjawab "karena saya sudah terlalu merepotkan dan terlalu membebani". orang tuaku mengelus kepalaku, memegang pundakku seraya berkata " kami tidak akan merasa terbebani walaupun harus mengeluarkan uang puluhan juta. yang kami ingin lakukan adalah melihat kamu menjadi anak yang sukses dimasa depan, apapun caranya akan kami tempuh. Yang terpenting sekarang kamu belajar yang benar, buat kami bangga dan bahagia". Mendengar perkataan tersebut aku memeluk mereka berdua.Aku pun berterima kasih terhadap apa yang telah mereka berikan kepadaku, dan aku pun berjanji ketika kuliah nanti aku tidak akan mengecewakan mereka.

Sejak saat itulah aku menetapkan kalau tujuan kuliahku adalah untuk membuat bangga dan membahagiakan kedua orang tuaku.