[sumber] |
Sebelumnya saya ingin
menyatakan kalau apa yang saya tulis disini sama sekali
tidak bermaksud untuk mendiskreditkan profesi apa pun, terlebih apa yang ditulis
bersumber dari asumsi yang didasarkan pada pengalaman pribadi tanpa bukti statistik
dan tanpa mengetahui sistem dunia medis sebenarnya secara jelas. Beberapa kejadian
yang diceritakan disini hanya terjadi atas nama oknum, dan saya yakin tidak terjadi
secara umum.
Kita semua tahu dan mungkin bisa merasakan jika kematian adalah hal yang paling dekat dengan kita. Kematian bisa terjadi dalam hitungan bulan, minggu, hari, jam, menit, bahkan detik. Jika kita menutup hidung dan mulut selama lima menit atau lebih, secara teori kita akan mati karena kehabisan oksigen kan? Ya, kematian memang bisa terjadi dalam waktu sesingkat-singkatnya, oleh karena itu penanganan secepat-cepatnya bisa menyelamatkan nyawa seseorang yang diambang kematian.
Lepas sejenak dari bahasan hidup dan mati, saya merasa ada banyak hak yang dimiliki manusia. Hak mencari kesenangan atau hak untuk beristirahat adalah beberapa contohnya. Setiap orang
berhak untuk mendapatkan dua hal tersebut, siapa pun dia.
Dalam kehidupan, hak tidak hidup menjomblo.
Mungkin bisa dibilang hak merupakan boyfriend
dari kewajiban yang biasanya lebih cerewet dan memaksa hak untuk mengalah.
Dalam sebuah profesi, kewajiban mungkin bisa juga diibaratkan sebuah tanda *
yang tercantum di pojok kiri bawah. Hampir tidak terlihat, namun apa yang kita
lakukan atas nama profesi tersebut tidak akan lepas dari apa yang tertulis
setelahnya.
Katakanlah kita seorang guru. Kita mempunyai
hak mencari kesenangan dengan beristirahat pada Senin hari pertama masuk
sekolah. Di sisi lain kita mempunyai kewajiban untuk mengajar. Kira-kira secara
etik apa yang harus kita lakukan? Menjalankan kewajiban mengajar. Kita seorang firefighter, terjadi kebakaran di Minggu
pagi, kita sedang asyik menikmati cerahnya mentari pagi sambil minum kopi dan
membaca koran. Secara etik apa yang harus kita lakukan? Saya kira bukan
menghabiskan kopi dan membaca koran sampai selesai. Lalu, bagaimana dengan
seorang dokter?
Saya pikir tanda * yang didapati setiap memilih
profesi berlaku juga pada seorang dokter walaupun dia sedang dalam jadwal
istrahatnya. Terlebih dalam pasal 7d kewajiban umum seorang dokter tertulis: “Setiap
dokter harus mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani” dan
pasal 13 mengenai kewajiban dokter terhadap pasien “Setiap dokter wajib
melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila
yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya”.
Namun, hal tersebut tidak saya temui dalam
beberapa pengalaman berkenaan dengan dunia medis.
Pengalaman pertama adalah ketika saya terpaksa
dirawat di sebuah rumah sakit karena DBD. Kala itu saya dirawat satu ruangan
dengan seorang pria berusia 25-30 tahunan yang dilarikan ke rumah sakit ini
karena tiba-tiba pingsan saat menghadiri training karyawan sebuah perusahaan di
hotel sekitar. Entah apa penyakit yang diderita pria malang beraksen pulau
sebrang ini, namun yang terjadi padanya saat itu adalah ‘muntaber’ berdarah
tiap beberapa menit sekali, menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar.
Pria malang itu merintih kesakitan ketika lagi-lagi darah keluar dari saluran
pencernaannya. Orang pertama yang menghampirinya adalah kakak saya yang
kebetulan mendapatkan tugas jaga saat itu. Tak lama, perawat pun datang. Pria
tersebut segera menyampaikan keluhannya “Suster, kapan dokternya datang. Kalau
begini terus saya bisa mati, hemoglobin saya makin berkurang, saya sudah lemas
sekali” rintih sang pria. Dengan tenang, sang suster menjawab “Dokternya baru
akan meriksa besok pagi”. Yap, memang di rumah sakit itu dokter hanya memeriksa
tiga kali, masing-masing pada pagi, siang, dan malam hari, dan sayangnya pria
tersebut tidak berada dalam range interval
pemeriksaan karena merintih kesakitan pada dini hari. Akhirnya, karena kasihan,
kakak pun menyarankan agar pasien
tersebut dirujuk ke rumah sakit lain. Atas persetujuan dokter jaga yang
sepertinya tidak berkewajiban memeriksa pasien, sang pria pulau sebrang segera
dipindahkan ke rumah sakit lain. Semenjak itu kami tidak tahu lagi kabar pasien
itu.
Pengalaman kedua adalah ketika ayah dilarikan
ke rumah sakit pada Sabtu siang yang cerah, dimana pada umumnya orang-orang
pergi rekreasi atau menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah. Ya, mungkin
hari Sabtu adalah hari yang tidak etis untuk seseorang dilarikan ke rumah
sakit. Whatever, Sabtu itu ayah
menderita sakit yang berdasarkan pengalaman kerabat dan keluarga harus segera
dioperasi, jika tidak resiko kematian akan semakin bertambah seiring dengan
lamanya penundaan. Sayangnya hari tersebut adalah hari Sabtu, dokter bersangkutan
yang dapat melakukan operasi sedang tidak bertugas. Akhirnya operasi dilakukan
hari Senin, ketika umumnya orang-orang kembali memulai pekerjaan tanpa terkecuali.
Ketika saya meyakini hidup mati bisa ditentukan dalam hitungan detik, kami
sekeluarga selama lebih dari 35 jam terus berdoa agar ayah bisa bertahan hingga
sang pahlawan kehidupan datang. Beruntung operasi berhasil. Walaupun kabarnya
jika terlambat sedikit lagi saja, hasil akan berbeda.
Pengalaman ketiga adalah ketika seorang paman
mengalami pendarahan otak stadium 4. Sampai saat ini pria yang memiliki tiga
anak dan menunggu kelahiran anak ke-empatnya masih dirawat di sebuah rumah
sakit. Ketika masuk, dokter menyatakan jika harapan hidup paman kecil. Beliau
dalam keadaan koma, paru-paru dan jantungnya ditopang oleh alat yang jika
dicabut nyawanya juga akan ikut tercabut. Pendarahan otak sudah mencapai
stadium 4, darah sudah merendam otaknya, dan operasi sulit dilakukan. Keputusan
lebih baik menunggu dokter spesialis X, dan kita harus menunggunya sampai
besok.
Dari tiga pengalaman tersebut, saya merasa jika
oknum dokter yang kebetulan saya temui belum mengamalkan secara maksimal kewajiban
pasal 7d dan 13. Kewajiban melindungi hidup mahluk insani yang tertulis pada pasal
7d menurut saya terkalahkan oleh hak personal untuk beristirahat pada saat itu,
pertolongan darurat dan melimpahkan pekerjaan pada orang lain pun tidak dilakukan
pada saat itu. Alhasil, yang bisa dilakukan pasien hanya lah menunggu, dan berdoa. Saya kira
seharusnya pada saat itu mereka lebih mengutamakan kewajiban menolong pasien
yang secara kasat mata bergantung pada pertolongan para ahli kesehatan ini.
Saya yakin apa yang saya alami tidak terjadi
secara umum. Saya tidak mengetahui seperti apa sistem dunia medis sebenarnya
berjalan. Mungkin apa yang terjadi saat itu tidak seperti apa yang sebenarnya
saya lihat. Kemungkinan besar saya salah karena tidak tahu apa-apa, karena
hanya berasumsi. Namun, satu hal yang
saya yakini adalah; ketika kita memilih suatu jalan, kita memilih sebuah paket
yang berisi hak dan kesenangan yang akan kita dapatkan, beserta dengan
konsekuensi, kewajiban dan kesulitan yang harus kita jalankan dan hadapi.
-Asumsi-
No comments:
Post a Comment