Monday, July 23, 2012

Kita Tunggu Sampai Besok

[sumber]
Sebelumnya saya ingin menyatakan kalau apa yang saya tulis disini sama sekali tidak bermaksud untuk mendiskreditkan profesi apa pun, terlebih apa yang ditulis bersumber dari asumsi yang didasarkan pada pengalaman pribadi tanpa bukti statistik dan tanpa mengetahui sistem dunia medis sebenarnya secara jelas. Beberapa kejadian yang diceritakan disini hanya terjadi atas nama oknum, dan saya yakin tidak terjadi secara umum.

Kita semua tahu dan mungkin bisa merasakan jika kematian adalah hal yang paling dekat dengan kita. Kematian bisa terjadi dalam hitungan bulan, minggu, hari, jam, menit, bahkan detik. Jika kita menutup hidung dan mulut selama lima menit atau lebih, secara teori kita akan mati karena kehabisan oksigen kan? Ya, kematian memang bisa terjadi dalam waktu sesingkat-singkatnya, oleh karena itu penanganan secepat-cepatnya bisa menyelamatkan nyawa seseorang yang diambang kematian.

Lepas sejenak dari bahasan hidup dan mati, saya merasa ada banyak hak yang dimiliki manusia. Hak mencari kesenangan atau hak untuk beristirahat adalah beberapa contohnya. Setiap orang berhak untuk mendapatkan dua hal tersebut, siapa pun dia.

Dalam kehidupan, hak tidak hidup menjomblo. Mungkin bisa dibilang hak merupakan boyfriend dari kewajiban yang biasanya lebih cerewet dan memaksa hak untuk mengalah. Dalam sebuah profesi, kewajiban mungkin bisa juga diibaratkan sebuah tanda * yang tercantum di pojok kiri bawah. Hampir tidak terlihat, namun apa yang kita lakukan atas nama profesi tersebut tidak akan lepas dari apa yang tertulis setelahnya.

Katakanlah kita seorang guru. Kita mempunyai hak mencari kesenangan dengan beristirahat pada Senin hari pertama masuk sekolah. Di sisi lain kita mempunyai kewajiban untuk mengajar. Kira-kira secara etik apa yang harus kita lakukan? Menjalankan kewajiban mengajar. Kita seorang firefighter, terjadi kebakaran di Minggu pagi, kita sedang asyik menikmati cerahnya mentari pagi sambil minum kopi dan membaca koran. Secara etik apa yang harus kita lakukan? Saya kira bukan menghabiskan kopi dan membaca koran sampai selesai. Lalu, bagaimana dengan seorang dokter?

Saya pikir tanda * yang didapati setiap memilih profesi berlaku juga pada seorang dokter walaupun dia sedang dalam jadwal istrahatnya. Terlebih dalam pasal 7d kewajiban umum seorang dokter tertulis: “Setiap dokter harus mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani” dan pasal 13 mengenai kewajiban dokter terhadap pasien “Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya”.

Namun, hal tersebut tidak saya temui dalam beberapa pengalaman berkenaan dengan dunia medis.

Pengalaman pertama adalah ketika saya terpaksa dirawat di sebuah rumah sakit karena DBD. Kala itu saya dirawat satu ruangan dengan seorang pria berusia 25-30 tahunan yang dilarikan ke rumah sakit ini karena tiba-tiba pingsan saat menghadiri training karyawan sebuah perusahaan di hotel sekitar. Entah apa penyakit yang diderita pria malang beraksen pulau sebrang ini, namun yang terjadi padanya saat itu adalah ‘muntaber’ berdarah tiap beberapa menit sekali, menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar. Pria malang itu merintih kesakitan ketika lagi-lagi darah keluar dari saluran pencernaannya. Orang pertama yang menghampirinya adalah kakak saya yang kebetulan mendapatkan tugas jaga saat itu. Tak lama, perawat pun datang. Pria tersebut segera menyampaikan keluhannya “Suster, kapan dokternya datang. Kalau begini terus saya bisa mati, hemoglobin saya makin berkurang, saya sudah lemas sekali” rintih sang pria. Dengan tenang, sang suster menjawab “Dokternya baru akan meriksa besok pagi”. Yap, memang di rumah sakit itu dokter hanya memeriksa tiga kali, masing-masing pada pagi, siang, dan malam hari, dan sayangnya pria tersebut tidak berada dalam range interval pemeriksaan karena merintih kesakitan pada dini hari. Akhirnya, karena kasihan, kakak pun menyarankan agar pasien tersebut dirujuk ke rumah sakit lain. Atas persetujuan dokter jaga yang sepertinya tidak berkewajiban memeriksa pasien, sang pria pulau sebrang segera dipindahkan ke rumah sakit lain. Semenjak itu kami tidak tahu lagi kabar pasien itu.

Pengalaman kedua adalah ketika ayah dilarikan ke rumah sakit pada Sabtu siang yang cerah, dimana pada umumnya orang-orang pergi rekreasi atau menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah. Ya, mungkin hari Sabtu adalah hari yang tidak etis untuk seseorang dilarikan ke rumah sakit. Whatever, Sabtu itu ayah menderita sakit yang berdasarkan pengalaman kerabat dan keluarga harus segera dioperasi, jika tidak resiko kematian akan semakin bertambah seiring dengan lamanya penundaan. Sayangnya hari tersebut adalah hari Sabtu, dokter bersangkutan yang dapat melakukan operasi sedang tidak bertugas. Akhirnya operasi dilakukan hari Senin, ketika umumnya orang-orang kembali memulai pekerjaan tanpa terkecuali. Ketika saya meyakini hidup mati bisa ditentukan dalam hitungan detik, kami sekeluarga selama lebih dari 35 jam terus berdoa agar ayah bisa bertahan hingga sang pahlawan kehidupan datang. Beruntung operasi berhasil. Walaupun kabarnya jika terlambat sedikit lagi saja, hasil akan berbeda.

Pengalaman ketiga adalah ketika seorang paman mengalami pendarahan otak stadium 4. Sampai saat ini pria yang memiliki tiga anak dan menunggu kelahiran anak ke-empatnya masih dirawat di sebuah rumah sakit. Ketika masuk, dokter menyatakan jika harapan hidup paman kecil. Beliau dalam keadaan koma, paru-paru dan jantungnya ditopang oleh alat yang jika dicabut nyawanya juga akan ikut tercabut. Pendarahan otak sudah mencapai stadium 4, darah sudah merendam otaknya, dan operasi sulit dilakukan. Keputusan lebih baik menunggu dokter spesialis X, dan kita harus menunggunya sampai besok.

Dari tiga pengalaman tersebut, saya merasa jika oknum dokter yang kebetulan saya temui belum mengamalkan secara maksimal kewajiban pasal 7d dan 13. Kewajiban melindungi hidup mahluk insani yang tertulis pada pasal 7d menurut saya terkalahkan oleh hak personal untuk beristirahat pada saat itu, pertolongan darurat dan melimpahkan pekerjaan pada orang lain pun tidak dilakukan pada saat itu. Alhasil, yang bisa dilakukan pasien hanya lah menunggu, dan berdoa. Saya kira seharusnya pada saat itu mereka lebih mengutamakan kewajiban menolong pasien yang secara kasat mata bergantung pada pertolongan para ahli kesehatan ini.

Saya yakin apa yang saya alami tidak terjadi secara umum. Saya tidak mengetahui seperti apa sistem dunia medis sebenarnya berjalan. Mungkin apa yang terjadi saat itu tidak seperti apa yang sebenarnya saya lihat. Kemungkinan besar saya salah karena tidak tahu apa-apa, karena hanya berasumsi. Namun, satu hal yang saya yakini adalah; ketika kita memilih suatu jalan, kita memilih sebuah paket yang berisi hak dan kesenangan yang akan kita dapatkan, beserta dengan konsekuensi, kewajiban dan kesulitan yang harus kita jalankan dan hadapi.

-Asumsi-

No comments:

Post a Comment