Monday, July 16, 2012

KKN Hari ke-11; Liburan Total

Empat orang pria adalah mereka yang tersisa saat minggu pagi hari ke-sebelas KKN berlangsung di desa Sukamulya. Saya pribadi tidak ingin hari ini menjadi another day off, dan memang tidak demikian karena hari tersebut bisa dibilang hari rekreasi total bagi kami.

Singkat cerita hari itu empat orang pria + satu orang pemuda desa pergi ke Waterboom kecamatan Sukamulya, Nagrog kampung wisata, dan pantai Kalapa Patimban. Sebenarnya Iwana, Roy, dan Ina dari KKN IPB juga diundang untuk turut serta, sayangnya mereka tidak bisa bergabung karena harus mengerjakan laporan yang akan diperiksa sewaktu-waktu tim SIDAK KKN IPB datang.


15 Juli 2012, tujuan rekreasi kami yang pertama adalah Waterboom Pagaden. Sempat berpikir bahwa yang namanya waterboom itu adalah sesuatu seperti Atlantis dan the Jungle yang biasa terlihat di televisi. Ternyata makna Waterboom saat ini sudah mengalami penyempitan. Cukup menyediakan seluncuran yang langsung menuju sebuah kolam kecil, dan Boom jadilah sebuah waterboom. Agar dapat merasakan main air dan mencuci mata di tempat wisata ini pengunjung harus merogoh kocek sebesar Rp. 15.000,-. Kami sama sekali tidak merasakan meluncur dari papan luncur setiggi kurang lebih tujuh meter, karena dirasa tidak memenuhi kriteria wajah. Uang Rp. 15.000,- sendiri dinikmati dengan berenang di kolam renang biasa dengan kedalaman orang dewasa, plus dengan melihat-lihat orang dewasa yang sedang berenang.


 


Acara selanjutnya adalah melakukan kunjungan ala laptop si Unyil ke dusun Nagrog, yang merupakan pusat kerajinan tangan desa Sukamulya. Disini empat orang pemuda dan satu orang pemuda++ dipandu berkeliling oleh pak Ade, tokoh desa yang sampai sekarang masih berusaha merintis dengan keras agar Nagrog menjadi obyek wisata yang akan menguntungkan bagi desa Sukamulya hingga kabupaten Subang secara umum. Sebelum berkeling, kami ditunjukan situ terbesar di Jawa Barat yang awalnya kami kira hanya genangan air akibat hujan besar. Ya situ terbesar Jawa Barat yang dapat menjadi cadangan sumber air dan tempat wisata ini tidak begitu diperhatikan oleh pemerintah setempat. Perjalanan pun di lanjutkan. Dalam berlaptop si Unyil ria, kami pertama-tama menghampiri pengrajin yang sedang menyulap bongkahan kayu menjadi bebek yang sepintas terlihat nyata karna warna cokelat kulit kayu yang terlihat natural. Proses pewarnaan miniatur hewan ini sendiri tidak menggunakan cat, tetapi menggunakan solder panas yang dapat merubah warna kayu menjadi kecokelatan. Pertama kali melihat kami terpesona dengan bebek karya salah satu pengrajin dusun Nagrog, kami pikir itu adalah klimaks dari perjalanan kami. Ternyata apa yang kami lihat diawal perjalanan hanyalah satu dari sekian banyak kerajinan yang dibuat penduduk dusun Nagrog. Gajah, harimau, naga, kura-kura, orang-orangan, golek, jerapah, hingga sisingaan yang merupakan simbol penentangan warga pada jaman kolonial Belanda pun dapat kita temukan di area wisata yang belum menjadi tujuan wisata ini. 

Dalam pelaksanaan roda ekonomi melalui ukiran-ukiran kayu ini warga dusun Nagrog menghadapi beberapa masalah. Kendala terbesar yang dialami oleh penduduk setempat adalah tidak adanya investor dan berkurangnya pasar tatkala krisis moneter 99 dan bom Bali mengguncang perekonomian nasional. Sekarang barang produksi hanya dikirim ke tempat-tempat wisata dalam jumlah kecil. Padahal sebelumnya usaha kerajinan ini sangat menjanjikan dan sempat bersaing di pasar internasional. Salah satu pengrajin pun pernah medapat penghargaan upakarti dari presiden Soeharto. Hal itu membuktikan jika karya ukiran penduduk dusun Nagrog sangat berjaya pada saat itu. Sebisa mungkin kami ingin membantu warga dusun Nagrog. Mungkin para mahasiswa yang secara umum masih disuapi orang tua ini tidak bisa menjadi investor, namun para mahasiswa yang masih belajar ini mungkin bisa membantu meningkatkan peruntungan penduduk dusun Nagrog untuk mendapatkan investor dan pasar dengan cara promosi dan pemasaran secara online melalui sosial media seperti Blog, Facebook, dan Twitter.











Pukul 15.30 niat kami untuk memutar roda sepeda motor menuju pantai Kelapa Patimban yang dapat dituju melalui jalur Pantura sama sekali tidak menurun. Walaupun sempat terhambat karena kendaraan Achmad mengalami bocor ban, kami pun akhirnya sampai di pantai Kalapa Patimban. Biaya masuk ke area wisata ini tertulis di tiket sebesar Rp.5000,- namun pria bertato penjaga pintu masuk meminta bayaran sebesar Rp. 10.000,-. Sesampainya disini saya pribadi tidak merasa excited seperti bagaimana biasanya saya menginjak pasir pantai, mungkin karena disini memang tidak ada pasir pantai. Walaupun tipikal pantai daerah utara tak berpasir dan berombak keruh, sebenarnya pantai ini masih bisa dijadikan objek wisata unggulan jika saja pemerintah dapat memaksimalkan fasilitas fisik yang ada, bukan mengijinkan pemaksimalan fasilitas psikis dan biologis yang kabarnya mendapat omzet baik terutama pada Sabtu malam. Pukul 08.00 kami pulang dari pantai melewati beberapa bangunan dengan lampu warna-warni berkedap-kedip.



Sebelum sampai di posko, speedometer menunjuk angka nol karena kami berhenti di angkringan daerah Pamanukan untuk mendapat kudapan bertemakan seafood. Bukan hanya itu, asupan kalori untuk hari itu masih terus meningkat karena ketika pulang ke rumah larut malam, Erni dan Ica yang dari siang telah menunggu menyisakan makanan kota, J.co.

What a total vacation

No comments:

Post a Comment