Bangun di pagi hari sepertinya bukan
sebuah fenomena lagi bagi tim KKN desa Sukamulya. Hal tersebut sepertinya
disebabkan oleh jadwal kegiatan yang sebagian besar dimulai pagi hari.
Setidaknya ada dua kegiatan yang dimulai pada waktu yang bersamaan di pagi hari itu, belajar komputer bersama para staf pemerintah desa Sukamulya dan mengajar di
PAUD Dahlia yang berlokasi di Julang, tidak jauh dari posko KKN. Kedua kegiatan
tersebut memiliki skala prioritas yang sama, oleh karena itu dengan terpaksa
tim pun harus dibagi dua untuk memenuhi kewajiban melaksanakan program-program
tersebut.
Saya dan Ahmad memilih pergi untuk program
belajar komputer bersama staf desa Sukamulya. Untuk menjalankan program ini
kami mau tidak mau harus membawa laptop sendiri diakrenakan komputer inventaris
desa sedang dalam perbaikan. Mungkin anda bertanya-tanya “lantas bagaimana desa
mencetak surat-surat birokrasi?” Microsoft
word classic (re: mesin tik) dan menyewa jasa tukang photocopy adalah jawaban yang kami dengar
dari salah satu staf. Ketika program dijalankan, hanya tiga dari tujuh orang
staf yang bersedia untuk belajar komputer bersama, sisanya terlihat memiliki
antusiasme yang dikalahkan rasa takut melakukan kesalahan. Tidak banyak materi
yang di-share selama dua jam belajar words dan bermain Zuma Deluxe.
Cerita lebih menarik justru
datang dari nenek yang bukan merupakan bagian dari program hari itu. Sehari
sebelumya kami bertemu dengan seorang nenek yang sedang duduk sendiri di
halaman belakang rumahnya. Seperti biasa perkataan punten diucapkan sebagai tanda penghormatan seorang yang lebih muda
pada orang yang lebih tua. Ibu tua itu pun membalas dengan ucapan mangga, namun tidak hanya itu, beliau
meminta waktu untuk berbincang-bincang dengannya. Pertanyaan seputar dari mana,
kuliah dimana, serta doa-doa kesuksesan yang kami amini diutarakan olehnya. Jawaban-jawaban
pun coba kami lontarkan dengan senyuman yang sepertinya mulai bisa diswitch sesuka hati
ketika bertemu dengan warga desa. Hal aneh adalah ketika beliau meminta maaf karena menilai diri tak acuh tidak pernah
menyapa, padahal seharusnya kami yang meminta maaf karena baru pertama kali
lewat ke area sang nenek tinggal.
Dalam perbincangan singkat itu nenek
berkata ingin memberi kami beras satu liter walaupun dia orang tidak punya,
sebuah hal seharusnya dirasa lebih ringan dilakukan oleh orang-orang yang
memagar tinggi rumahnya. Kami menyangka hal tersebut hanyalah sebuah basa-basi.
Namun, 16 Juli 2012 pagi sang nenek benar-benar datang ke posko dan membawa
beras yang jika ditimbang mungkin lebih dari satu liter. Merasa tidak enak,
anak-anak pun membeli beberapa kebutuhan pokok dan memasak makanan untuk
diberikan pada sang nenek. Saya, Ica, dan Erni menjadi delegasi dalam misi
membalas budi sang nenek. Ketika kami masuk dan menyampaikan maksud kami, sang
nenek merasa sangat senang dan terharu. Beliau berkata “Ujang, eneng, upami
emak masihan teh tong ngarasa kahina nya, da emak mah hoyong masihan, bilih teu
aya kanggo emameun”. Selesai mengirim bingkisan, kami tidak enak jika harus
langsung angkat kaki kembali ke posko, maka dari itu perbincangan lainnya
dengan sang nenek tercetus. Diceritakan jika sebenarnya beliau memiliki delapan
anak dan beberapa cucu, namun mereka lebih memilih untuk tinggal pisah rumah,
alhasil sang nenek pun harus tinggal dan melakukan berbagai kegiatan sendiri.
Dari raut wajah, nada bicara, dan konten obrolan, sangat terasa sekali jika
sang nenek merasa kesepian dan ingin seseorang yang peduli dan dipedulikan.
Beliau juga sangat terlihat antusias ketika menceritakan jika sebenarnya dia
sangat mencintai almarhum suaminya walaupun pasangan hidupnya itu terkesan
tidak mempedulikan dan jarang mengajaknya bicara. Garis bawah juga saya berikan
ketika sang nenek menceritakan jika sebenarnya sebelum menjadi istri almarhum
suami dia sempat menjalin asmara dengan orang Cianjur yang dia gambarkan
sebagai orang yang ramah, halus dalam bertutur bahasa, rupawan, (LOL) . Diceritakan
juga jika hubungan asmara tersebut berlangsung sangat jauh jauh lebih lama dari
proses pacaran menjadi nikah antara sang nenek dengan suaminya yang hanya
berlangsung lima hari. “Emak baheula jeung urang Cianjur kenging dalapan bulan
mah aya. Meni barageur urang Cianjur mah, lalentong. Tapi duka kunaon emak oge
jadi na sareng bapak, padahal kur bobogohan lima dinten saacan nikah jeung
bapak teh” ungkap sang nenek dengan sangat terbuka. Pulang, kami semua pun
termenung dan berharap jika para keluarga dan tetangga bisa lebih memperhatikan
sang nenek, setidaknya untuk diajak berbicara.
Dari sang nenek saya belajar jika memberi itu sebenarnya bukan masalah punya
atau tidak punya, namun masalah mau atau tidak mau. Saya juga belajar memahami
perasaan kesepian dan sakit yang
dirasakan sang nenek ketika orang-orang yang dicintainya tidak ada mendampingi
saat untuk berjalan saja menjadi hal yang berat. Belajar dari sang nenek, saya
tidak akan membiarkan hal tersebut juga terjadi pada orang tua saya kelak.
No comments:
Post a Comment