Wednesday, July 18, 2012

KKN Hari ke-12: Wanita Tua Kesepian

Bangun di pagi hari sepertinya bukan sebuah fenomena lagi bagi tim KKN desa Sukamulya. Hal tersebut sepertinya disebabkan oleh jadwal kegiatan yang sebagian besar dimulai pagi hari. Setidaknya ada dua kegiatan yang dimulai pada waktu yang bersamaan di pagi hari itu, belajar komputer bersama para staf pemerintah desa Sukamulya dan mengajar di PAUD Dahlia yang berlokasi di Julang, tidak jauh dari posko KKN. Kedua kegiatan tersebut memiliki skala prioritas yang sama, oleh karena itu dengan terpaksa tim pun harus dibagi dua untuk memenuhi kewajiban melaksanakan program-program tersebut.

Saya dan Ahmad memilih pergi untuk program belajar komputer bersama staf desa Sukamulya. Untuk menjalankan program ini kami mau tidak mau harus membawa laptop sendiri diakrenakan komputer inventaris desa sedang dalam perbaikan. Mungkin anda bertanya-tanya “lantas bagaimana desa mencetak surat-surat birokrasi?” Microsoft word classic (re: mesin tik) dan menyewa jasa tukang photocopy adalah jawaban yang kami dengar dari salah satu staf. Ketika program dijalankan, hanya tiga dari tujuh orang staf yang bersedia untuk belajar komputer bersama, sisanya terlihat memiliki antusiasme yang dikalahkan rasa takut melakukan kesalahan. Tidak banyak materi yang di-share selama dua jam belajar words dan bermain Zuma Deluxe.




Cerita lebih menarik justru datang dari nenek yang bukan merupakan bagian dari program hari itu. Sehari sebelumya kami bertemu dengan seorang nenek yang sedang duduk sendiri di halaman belakang rumahnya. Seperti biasa perkataan punten diucapkan sebagai tanda penghormatan seorang yang lebih muda pada orang yang lebih tua. Ibu tua itu pun membalas dengan ucapan mangga, namun tidak hanya itu, beliau meminta waktu untuk berbincang-bincang dengannya. Pertanyaan seputar dari mana, kuliah dimana, serta doa-doa kesuksesan yang kami amini diutarakan olehnya. Jawaban-jawaban pun coba kami lontarkan dengan senyuman yang sepertinya mulai bisa diswitch sesuka hati ketika bertemu dengan warga desa. Hal aneh adalah ketika beliau meminta maaf karena menilai diri tak acuh tidak pernah menyapa, padahal seharusnya kami yang meminta maaf karena baru pertama kali lewat ke area sang nenek tinggal.

Dalam perbincangan singkat itu nenek berkata ingin memberi kami beras satu liter walaupun dia orang tidak punya, sebuah hal seharusnya dirasa lebih ringan dilakukan oleh orang-orang yang memagar tinggi rumahnya. Kami menyangka hal tersebut hanyalah sebuah basa-basi. Namun, 16 Juli 2012 pagi sang nenek benar-benar datang ke posko dan membawa beras yang jika ditimbang mungkin lebih dari satu liter. Merasa tidak enak, anak-anak pun membeli beberapa kebutuhan pokok dan memasak makanan untuk diberikan pada sang nenek. Saya, Ica, dan Erni menjadi delegasi dalam misi membalas budi sang nenek. Ketika kami masuk dan menyampaikan maksud kami, sang nenek merasa sangat senang dan terharu. Beliau berkata “Ujang, eneng, upami emak masihan teh tong ngarasa kahina nya, da emak mah hoyong masihan, bilih teu aya kanggo emameun”. Selesai mengirim bingkisan, kami tidak enak jika harus langsung angkat kaki kembali ke posko, maka dari itu perbincangan lainnya dengan sang nenek tercetus. Diceritakan jika sebenarnya beliau memiliki delapan anak dan beberapa cucu, namun mereka lebih memilih untuk tinggal pisah rumah, alhasil sang nenek pun harus tinggal dan melakukan berbagai kegiatan sendiri. Dari raut wajah, nada bicara, dan konten obrolan, sangat terasa sekali jika sang nenek merasa kesepian dan ingin seseorang yang peduli dan dipedulikan. Beliau juga sangat terlihat antusias ketika menceritakan jika sebenarnya dia sangat mencintai almarhum suaminya walaupun pasangan hidupnya itu terkesan tidak mempedulikan dan jarang mengajaknya bicara. Garis bawah juga saya berikan ketika sang nenek menceritakan jika sebenarnya sebelum menjadi istri almarhum suami dia sempat menjalin asmara dengan orang Cianjur yang dia gambarkan sebagai orang yang ramah, halus dalam bertutur bahasa, rupawan, (LOL) . Diceritakan juga jika hubungan asmara tersebut berlangsung sangat jauh jauh lebih lama dari proses pacaran menjadi nikah antara sang nenek dengan suaminya yang hanya berlangsung lima hari. “Emak baheula jeung urang Cianjur kenging dalapan bulan mah aya. Meni barageur urang Cianjur mah, lalentong. Tapi duka kunaon emak oge jadi na sareng bapak, padahal kur bobogohan lima dinten saacan nikah jeung bapak teh” ungkap sang nenek dengan sangat terbuka. Pulang, kami semua pun termenung dan berharap jika para keluarga dan tetangga bisa lebih memperhatikan sang nenek, setidaknya untuk diajak berbicara.



Dari sang nenek saya belajar jika memberi itu sebenarnya bukan masalah punya atau tidak punya, namun masalah mau atau tidak mau. Saya juga belajar memahami perasaan kesepian dan sakit yang  dirasakan sang nenek ketika orang-orang yang dicintainya tidak ada mendampingi saat untuk berjalan saja menjadi hal yang berat. Belajar dari sang nenek, saya tidak akan membiarkan hal tersebut juga terjadi pada orang tua saya kelak.       

No comments:

Post a Comment