Wednesday, January 13, 2010

Nothing is Impossible

By : Ihsan Nur Iman Faris

Panas sinar matahari sangat menyengat siang itu, membuat hampir setiap orang yang bergerak di bawah naungannya bermandikan keringat. Tapi itu semua tidak menyurutkan semangat siswa-siswa SMA Cipanas International School untuk bermain bola dan berlatih untuk menghadapi kejuaraan sepak bola yang akan dihadapi 2 bulan yang akan datang.

Adi, salah satu siswa kelas 2 SMA tersebut berniat untuk pulang ke rumah karena kala itu kegiatan belajar-mengajar di sekolah telah usai. Jika hendak pulang, tentu saja semua siswa harus menyusuri pinggir lapangan sepak bola yang letaknya tepat sebelum gerbang masuk dan keluar sekolah tersebut . Dengan tubuh kurusnya, buku tebal didekap didada, kaca mata tebal, baju dimasukan rapi kedalam celana, dan potongan rambut rapi ala SBY, dia berjalan menunduk, menunjukan rasa lelah dikarenakan kegiatan belajar yang padat. Memang Adi mendapatkan rasa capek yang lebih dari siswa yang pada saat itu bermain bola karena Adi mengikuti kursus Fisika, Kimia, Matematika, dan Astronomi yang diadakan di sekolah tersebut.

Adi sesekali menengok ke arah lapangan sepak bola. Tatapannya begitu penuh harap, dalam hatinya dia berharap dapat bermain bola seperti mereka. Tapi tatapannya itu dia akhiri dengan menunduk dan menggelengkan kepala. Dalam hatinya selalu teringat dan terngiang-ngiang perkataan ibunya “ Di, kamu nanti kalau sekolah harus selalu masuk tiga besar ya, oleh karena itu kamu harus banyak ikut kursus, ikut bimbingan belajar, dan ikut seminar. Kamu tidak perlu banyak ikut kegiatan olah raga, kamu tidak cocok dengan semua itu, terlebih lagi ibu takut kamu terluka dan tidak bisa sekolah untuk waktu yang cukup lama. Semua itu akan menjadi kerugian untuk kamu dimasa depan”. Semua perkataan ibunya mungkin bisa dikatakan benar adanya karena dalam mata pelajaran olah raga Adi selalu mendapat nilai pas-pasan dan dia pun selalu menjadi bahan lawakan teman-temannya karena gerakannya yang kik-kuk. Tiba – tiba saat dia berjalan, si kulit bundar dengan cepat memotong langkahnya sehingga dia kaget dan hampir terjatuh. Bola itu menggelinding cukup jauh dari para pemain bola, tapi cukup dekat dari tempat Adi berdiri. Orang –orang di lapangan berteriak kepadanya “ oi, kamu . . .ayo tending bolanya kemari “ Adi pun terlihat bingung karena dia hampir sama sekali belum pernah menendang bola dikarenakan dia belum pernah ikut bergabung jika temannya bermain bola. Orang-orang dilapangan terus berteriak semakin lama semakin kencang, dan raut wajah mereka pun semakin kesal. Alex, sang kapten dengan nomor punggung 10, berbadan tegap berparas tampan ,berpostur ideal dan sangat gagah tersenyum ke arah Adi dan berkata “ ayo tendang saja, jangan ragu itu hanyalah hal yang mudah, kamu pun pasti bisa” Alex berkata sambil melambaikan tangannya seakan menyemangati Adi untuk menendang bola itu. Adi pun mengambil bola, dengan penuh tekad, wajahnya berubah serius, tatapannya tajam ke arah bola, dia melemparkan ransel dan bukunya ke tanah, dia pun bersiap menendang bola dengan kuda-kuda yang hampir sama dengan Kapten Tsubasa, seluruh tenaga dia pusatkan di kakinya, dia menendang bola dan . . .
“ Gubrak” dia terjatuh dengan kencang membentuk sudut 270ยบ. Dia pun merintih kesakitan, sementara bola tidak beranjak kemanapun. Semua orang yang bermain sepak bola pada saat itu menertawakan kejadian yang menimpa Adi kecuali sang kapten, Alex. Dia memperlihatkan wajah kecewa sekaligus wajah kasihan, dia berpikir itu semua salahnya, seharusnya dia sendiri yang mengambil bola itu walaupun ada orang yang lebih dekat untuk mengambil bola tersebut. Wajah Adi pucat, hampir sekujur tubuhnya terasa sakit, tapi hal yang paling membuat sakit bukanlah luka yang ada ditubuhnya, melainkan olok – olok dan tertawaan dari orang yang ada di sekelilingnya. Dani, salah seorang pemain bola yang kala itu berlatih pun mengambil bola itu sendiri dan dia mengatakan kata-kata yang sangat tidak berkenan dihati Adi “ huh dasar kutu buku, menendang bola saja tidak bisa, olahraga memang hal yang tidak cocok buat kamu, lebih baik kamu belajar fisika sampai otakmu mengeluarkan asap saja, itu lebih cocok bagi kamu” perkataan Dani diakhiri dengan tawa yang puas, mereka pun melanjutkan kembali bermain bola dengan tawa dan olok-olok terhadap Adi masih tersisa. Adi pun dengan menunduk dan kecewa pun terus berjalan meninggalkan mereka, dalam hatinya dia terus berkata “ hal ini memang tidak cocok denganku” Alex menatap punggung Adi dengan rasa kasihan matanya terus mengikuti langkahnya hingga gerbang sekolah, setelah itu dia pun kembali meneruskan bermain bola.

Sesampainya di rumah Adi melepas sepatunya di teras rumah, terdengar langkah kaki ibunya menghampiri. Seketika sang ibu merasa kaget mendapati sang anak tercinta pulang dengan keadaan kotor dan memar hampir disekujur tubuhnya. Sang ibu pun bertanya “ Adi ? kenapa tubuhmu bisa kotor dan memar begini ? “ dengan suara yang pelan dan lemas Adi menjawab “ saya jatuh bu di jalan, saya tidak hati-hati saat berjalan, saya menyandung batu yang ada di jalanan, dan beginilah bu akhirnya” Adi berbohong. “ oh . . .ibu kira kamu habis berolahraga . . .kamu harusnya berhati-hati nak, jalanan adalah tempat yang berbahaya bagi anak seperti kamu, ayo cepat ganti baju dan obati luka kamu, nanti malam kan kamu harus belajar lagi. Ngomong-ngomong bagaimana tadi les fisikanya? Sang ibu menanyakannya dengan wajah penuh ingin tahu. “ ya seperti biasa bu, saya bisa mengikutinya dengan baik” dengan sedikit mengeluh Adi menjawab. Dengan tangan berada di dada dan tersenyum sang ibu berkata “ wah anak ibu memang pintar, bapakmu yang sedang berkerja di Australi pasti senang mendengar anaknya seperti itu”. Pembicaraan itu pun selesai, mereka berdua pun masuk ke rumah. Adi segera mandi, membersihkan luka, dan setelah itu dia mengunci diri di kamar. Sang ibu menyangka putra tercintanya sedang asyik belajar.

Adi terus merenung, menatap langit-langit kamarnya sambil menjadikan kedua tangannya sebagai bantalan. Dalam hati dia terus berpikir “ sepak bola itu tak cocok bagi diriku . . .” dia terus berpikir begitu, tapi dalam lubuk hati terdalamnya dia merasa sangat sedih karena sebenarnya dia sangat menyenangi sepak bola dari semenjak dia kecil.Sayangnya dia hanya dapat menikmatinya hanya sebagai penonton saja, dia ingin sekali merasakan langsung ketegangan dan kenikmatan bermain bola sebagai pemain. Hal itu mulai menjadi sekedar mimpi belaka bagi dirinya, tatkala sang ibu terus memaksanya untuk belajar dan konsentrasi pada prestasi akademik. Perasaan kecewa dan gelisah terus menyelimuti hatinya malam itu, tetapi dia memaksakan diri untuk tidur cepat karena besok pagi-pagi sekali dia harus menghadiri seminar fisika yang diadakan dari tempat yang cukup jauh dari rumahnya.

Pagi pun tiba, Adi terbangun oleh bunyi alarm handphone miliknya. Dia pun bersegera mandi dan sarapan, setelah itu dia bergegas pergi menuju tempat diadakannya seminar yang akan dimulai pada pukul 09.00. Pada saat itu jarum jam menunjukan pukul 06.30, Adi merasa masih banyak waktu untuk bersantai, dia pun memutuskan untuk sejenak berjalan-jalan sebelum dia mencari kendaraan umum yang membawanya ke tempat seminar. “ Jalan – jalan sejenak mungkin akan memperbaiki kondisi hatiku, selain itu hal itu juga baik untukku yang sangat kurang berolah raga ini” Adi bergumam. Adi berjalan dengan memasukkan kedua tangannya kedalam saku, dia berjalan dengan santai sambil memperhatikan sekitarnya. Pada hari itu kebetulan sekolah Adi sedang libur karena disekolahnya sedang diadakan try out untuk kelas 3 yang akan menghadapi ujian nasional. Adi terus berjalan dan berjalan. Tak lama, setelah merasa capek Adi memutuskan untuk mencari kendaraan umum dan pergi menuju seminar. Dia berhenti didepan sebuah lapangan sepak bola. Di tempat itu samar-samar dari kejauhan dia melihat seorang pria yang sedang berlatih sepak bola sendirian dengan penuh semangat, sekujur tubuhnya penuh dengan keringat. Ternyata yang dia lihat itu Alex, kapten tim sepak bola sekolahnya. Dalam hati dia bertanya “ mengapa dia harus berlatih sepagi ini? padahal kan ini hari libur, terlebih lagi aku kira dia orang dengan bakat sepak bola yang hebat yang tidak perlu lagi banyak berlatih”. Kendaraan demi kendaraan terus lewat di depan Adi. Mengelaksoni dan menawarkan jasa untuk mengantarkannya ke tempat tujuan, tetapi Adi terus menolaknya dan dengan serius memperhatikan Alex yang sedang berlatih keras. Alex terus berlatih, dia terus melatih tendangan kaki kanannya. Dia menendang bola kesana kemari. Tendangannya sangat bertenaga, sampai-sampai dapat mengeluarkan bunyi hentakan yang sangat keras. Adi sangat terkagum – kagum dengan ‘spirit’ yang dimiliki oleh Alex dalam berlatih, dia berharap dapat memiliki semangat yang sama dengannya. Tiba-tiba bola yang ditendang Alex melenceng keluar lapangan dan menyebrang jalan menuju tempat Adi berdiri. Alex pun menoleh mengikuti arah perginya bola, dan saat itu dia menyadari keberadaan Adi yang sedang berdiri dipinggir jalan. Alex melambaikan tangan dan berteriak sambil tersenyum “ Oi . . .kamu yang kemarin kan? Ayo kemari temani aku berlatih, tapi sebelumnnya bisakah kau tendang bola yang ada di depan mu itu kemari? “ mendengar perintah seperti itu lagi Adi merasa tercengang, kaget, dan teringat peristiwa yang kemarin terjadi. Dia merasa bingung dan takut untuk menendang bola itu, tetapi jika dia tidak memberikan bola itu kepada Alex, dia takut menyakiti dan menyinggung perasaan Alex. Adi hanya terdiam memandangi bola, sementara Alex merasa bingung melihat apa yang dilakukan oleh Adi. Akhirnya Adi mengambil keputusan. Dia akhirnya menyentuh bola itu dengan tangannya, mencengkramnya dengan kedua tangannya dan membawanya ke Alex berserta dengan seluruh anggota tubuhya, dia menghampiri Alex dan berkata “ maaf, ini bolanya”.

Alex menepuk pundak Adi dan berkata “ kau tidak seharusnya berputus asa seperti itu, kau harusnya lebih percaya diri”. Adi menjawab sambil menunduk “ mungkin bagi kamu, orang yang memiliki bakat dan talenta yang luar biasa sangatlah mudah melakukannya, lagipula sepak bola memang tak cocok bagiku. Aku tidak mungkin dapat bermain sepak bola”. Dengan tersenyum Alex menjawab “ ada batasan untuk orang yang berbakat, tetapi tidak ada batasan untuk orang yang berkerja keras, selain itu kau tidak pandai bermain sepak bola bukan karena sepak bola tidak cocok denganmu , tetapi karena kau belum melakukan banyak usaha untuk bisa bermain sepak bola, teruslah berusaha karena tak ada yang tak mungkin jika kita mau berusaha”. Dari situ Adi merenung. Ia pun tersadar dan terpacu hatinya untuk dapat bermain sepak bola. Setelah pertemuannya dengan Alex tersebut Adi memutuskan untuk terus berlatih dan berlatih agar pandai bermain sepak bola.

No comments:

Post a Comment