Dulu, Indonesia pernah dijajah Belanda selama lebih
dari 350 tahun. Dulu, Jepang menguras banyak kekayaan negeri ini. Dulu,
perbudakan dan penjajahan dianggap sebagai hal yang lumrah. Lalu, mengapa saat
ini bangsa Indonesia tidak bermusuhan dengan Belanda? Mengapa budaya-budaya
Jepang mulai dari makanan hingga cara berpakaian diterima dengan baik? Jika
sakitnya sejarah masih terasa, bukankah seharusnya kita mengangkat senjata, membalaskan
dendam nenek moyang? Tidak demikan, bukan? Bangsa-bangsa yang dulu ketika bertatap
muka saling mengangkat senjata, kini berjabat tangan dan duduk satu meja
membicarakan kebaikan bersama. Ya, sejarah dipelajari bukan untuk menyulut
kembali api konflik, melainkan untuk kita jadikan bahan evaluasi.
Kemungkinan,
banyak orang setuju dengan pernyataan di atas. Namun, bagaimana dengan wacana penyetaraan
kuota perempuan dan laki-laki di parlemen? Berdasarkan UU
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu,
tak peduli ada banyak perempuan pintar dan kompeten, kaum yang ditakdirkan berkromosom
XY diberi kuota 70%, sedangkan mereka yang ditakdirkan memiliki kromosom XX
diberi kuota 30%.
Sampai sekarang, banyak yang masih beranggapan bahwa laki-laki bagaimanapun lebih unggul dibanding perempuan (sumber gambar) |
Sekilas,
pemberian kuota 30% untuk perempuan tidak ada sangkut pautnya dengan sejarah.
Namun, jika dipelajari lebih dalam, akan dapat dilihat bahwa perempuan masih
banyak diperlakukan berdasarkan apa yang terjadi di masa lalu. Secara historis
perempuan dipandang tidak setara dengan laki-laki karena perbedaan genetik dan
fisik. Ketika jaman manusia purba, kesejahteraan seseorang ditentukan oleh
kemampuannya bertarung dan berburu mangsa. Laki-laki yang pada saat itu biasa
membawa pulang daging mamut dianggap lebih hebat dibandingkan perempuan
yang biasanya diam di dalam gua. Begitupun halnya pada masa revolusi industri.
Laki-laki dianggap lebih berperan karena melakukan pekerjaan kasar yang
berhubungan dengan industri, sementara perempuan yang kala itu lebih banyak
melakukan pekerjaan rumah dianggap lebih sedikit kontribusinya. Anggapan bahwa
laki-laki lebih baik dari perempuan dari segi fisik pun merembet pada
bidang-bidang lain yang tidak mengutamakan kekuatan fisik. Pemimpin dan pemikir
besar terdahulu pun kebanyakan berjenis kelamin laki-laki. Hal tersebut banyak dianggap
fakta yang menunjukkan bahwa laki-laki lebih utama dibanding perempuan. Padahal,
domino yang menggerakan keping sejarah tersebut berawal dari perbedaan fisik
dan genetik semata.
Pada jaman dahulu, laki-laki dianggap unggul karena kekuatan fisiknya lebih besar daripada perempuan (sumber gambar) |
Namun,
sejarah yang merugikan kaum perempuan berangsur-angsur dievaluasi. Pendidikan
yang dulu kebanyakan mengutamakan laki-laki, juga diterima dengan adil oleh perempuan
sekarang. Di bidang pekerjaan seperti industri otomotif dan mesin yang identik
dengan laki-laki pun, banyak didapati sosok cantik nan jelita. Bahkan, di
negara maju seperti Korea Selatan, perempuan mampu menjadi pemimpin bangsa.
Semua itu bukan semata belas kasihan atau pemberian dari gender yang
berlawanan. Semua karena perempuan juga punya kemampuan. Ya, orang-orang telah
belajar dari sejarah dan memperbaiki keadaan. Namun, bukankah evaluasi sejarah
tersebut seharusnya diterapkan juga dalam pemberian kuota di parlemen?
Park Geun-Hye, presiden Korea Selatan (sumber gambar) |
Pekerjaan
anggota parlemen berkenaan dengan pengambilan keputusan dan perwujudan aspirasi
rakyat. Selama siapapun mampu melakukannya, tak peduli apa jenis kelaminnya,
seharusnya mereka diberi kesempatan untuk berada di parlemen. Perempuan dan
laki-laki seharusnya diperlakukan setara, diberikan kuota yang sama. Bahkan
mungkin seharusnya tidak ada sama sekali kuota berdasarkan gender. Biarkan caleg
berjuang semaksimal mungkin untuk membuktikan kapabilitasnya mewakili rakyat
dan memimpin negara. Namun, nilai lebih jika perempuan diberi lebih banyak
kesempatan di parlemen adalah terwakilinya
perempuan lain di masyarakat yang dirugikan oleh supremasi historis lawan
jenis. Hal ini karena mereka juga merasakan diskriminasi gender di masyarakat.
Laki-laki dan perempuan seharusnya diberi kesempatan yang sama dalam berpolitik (sumber gambar) |
Apa
yang ditulis di sini bukan untuk meyakinkan pembaca semata-mata agar memilih
caleg perempuan pada sembilan April nanti. Namun, lebih kepada meyakinkan
pembaca untuk memilih caleg sesuai dengan kapabilitasnya. Ketika caleg yang
dipilih ternyata adalah perempuan, tidak usah ragu-ragu, tidak usah takut salah
pilih jika ternyata hati berbicara caleg perempuan tersebut adalah pilihan
terbaik.
“Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru
dari akarnya! Beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncangkan dunia!”
|
Referensi:
Perempuan di parlemen harus memberi arti
The history of female oppression
How did men come to dominate women?
No comments:
Post a Comment