31 Desember bukanlah hari peringatan nasional, hari pahlawan nasional, bahkan bukanlah hari libur nasional, namun pada hari itu banyak orang membunyikan terompet seakan merayakan sebuah festival, kendaraan bermotor berlalu lalang menuju berbagai objek wisata, orang-orang berkumpul bersama sanak famili, tua-muda, pria-wanita, anak-anak sampai orang dewasa turun ke jalan.
Hal apa yang membuat mereka seperti itu? Pasti kita semua sudah tahu penyebabnya. Seperti yang kita tahu tanggal 31 Desember merupakan halaman terakhir dari sebuah “buku” yang disebut tahun. Semua orang bereuporia merayakan datangnya tahun baru, banyak cara untuk merayakan hal tersebut. Mengunjungi objek wisata, menonton film, membunyikan terompet, berkumpul bersama teman-teman serta keluarga, pesta makan, dan lain-lain. Tetapi cara yang paling populer dan sudah mendunia adalah merayakannya dengan pesta kembang api yang diluncurkan tepat pukul 00.00.
Pada tahun baru dua tahun silam, tepatnya dipenghujung tahun 2007, tak berbeda dengan orang kebanyakan, aku merayakan pesta tahun baru dengan turun ke jalan bersama dengan teman-teman, membuat kebisingan dengan membunyikan terompet, serta mengadakan pesta makan sembari menantikan langit malam yang dihiasi bunga yang berwarna-warni yang berbahan dasarkan bubuk mesiu.
Pada tanggal 31 Desember kami mempesiapkan segalanya, mulai dari bahan makanan, peralatan masak, terompet, uang, fisik, dan tentunya beberapa cangkir kopi yang dapat membantu mata kami terjaga hingga pagi menjelang. Pada saat itu kami berkumpul di rumah seorang teman yang tidak jauh dari objek wisata yang seingkali menjadi pusat perayaan tahun baru di Cipanas – Puncak , yaitu kawasan real estate, Kota Bunga. Konon pengelola Kota Bunga berani merogoh kocek hingga 1 milyar rupiah untuk mengadakan pesta yang dilaksanakan sekali dalam 1 tahun tersebut. Angka tersebur tentu saja merupakan hal yang fantastis untuk percikan api berwarna-warni yang menghiasi langit hanya untuk beberapa saat saja.
Bukan hanya kami saja yang akan merayakan pesta penutupan tahun di tempat itu, ribuan orang dari berbagai tempat seperti Bandung, Jakarta, Bogor, dan Sukabumi pun menuju ke tempat yang sama dengan kami, antrian kendaraan sudah terlihat bahkan dari siang hari, jalur menuju puncak pun sudah menerapkan sistem buka-tutup untuk menghindari kemacetan yang lebih parah. Polisi sudah bersiaga diberbagai titik rawan kemacetan. Pada saat siang hari itu kami sudah berkumpul, bersenda gurau dan tertawa. Mulai memasuki malam hari kami menyiapkan bahan makanan, dan peralatan. Diiringi dengan musik dari komputer, kami pun mengolah makanan tersebut dengan cara memanggang atau membakarnya, kami membuat jagung dan ayam bakar. Suasana pun terasa begitu hangat dan menyenangkan, apa lagi ketika malam sudah memasuki pukul 22.00 ketika kembang api mulai mengangkasa. Kembang api itu memang hanyalah berasal dari pihak-pihak swadaya, yang ingin turut berpartisipasi dalam perayaan. Tidak begitu spektakuler dan fantastis tapi cukup untuk merangsang bola mata kami untuk menatap langit sambil terkagum-kagum. Pada saat itu kami berada dilantai 2 rumah teman kami, tempat yang cukup tinggi dan strategis untuk menikmati pemandangan langit yang hanya terjadi sekali dalam setahun. Tetapi kami merasa kurang puas dengan posisi kami pada saat itu, kami pun memutuskan untuk mencari angle yang lebih strategis dengan memanjat hingga keatap rumah. Tanpa melepaskan jagung bakar ditangan kami, kami pun merangkak naik ke “lantai teratas” dari rumah. Intuisi kami untuk pergi ke atap pun terasa sangat benar ketika langit yang berwarna-warni pada malam itu membuat mata kami melongo dan mulut kami menganga karena saking kagum atas keindahannya. Berada di ketinggian 25 meter diatas tanah, kami tidak menggubris resiko terjatuh dan cidera karena terhipnotis oleh keindahan langit malam tahun baru.
Memasuki pukul 23.00 kami memutuskan untuk menyudahi pesta makan di rumah teman kami dan bersiap pergi menuju tempat pusat perayaan tahun baru. Jarak yang perlu kami tempuh untuk menuju tempat itu hanyalah 1,5 Km tetapi jarak tempuh tersebut terasa menjadi 3 kali lipat ketika kami menemui antrian kendaraan yang sangat panjang dan padat. Kebisingan dari kembang api, orang-orang, dan kendaraan bermotor pun bercampur aduk menjadi satu. Pengendara mobil membunyikan klakson sambil berteriak atau menggelengkan kepala, tanda kekesalan. Para pengendara motor pun tidak mau kalah membuat kebisingan dengan “menggerungkan” knalpot motor mereka. Para pejalan kaki juga tak kalah dalam meramaikan suasana dengan membunyikan terompet dan berteriak-teriak. Pada saat itu sangatlah sulit bagi kendaraan bermotor untuk melangkah walaupun untuk 1 meter saja, bahkan kami yang berangkat dengan berjalan kaki pun merasa sangat kesulitan dikarenakan kerumunan yang terlalu padat.
Pukul 23.30 dengan susah payah kami pun akhirnya dapa mencapai gerbang Kota Bunga, pada saat itu kami menyadari apa yang menyebabkan kemacetan yang sangat panjang tersebut. Penyebabnya ternyata adalah karena tidak di izinkannya kendaraan bermotor untuk memasuki areal Kota bunga tersebut. Akibatnya ratusan kendaraan bermotor mememenuhi gerbang, sementara pengendara motor lainnya terus menuju tempat yang telah diblokade tersebut. Apa yang dilakukan pengelola kami pikir sangat rasional, karena pengendara motor yang masuk dalam jumlah yang banyak dapat merusak ketertiban dan fasilitas yang ada.
Sesampainya disana kami harus terus masuk kedalam, menuju kawasan Danau yang bernama kawasan “little venezia” yang merupakan tempat pusat diluncurkannya kembang api. Jaraknya masih cukup jauh tetapi kami tidak mengeluh sama sekali karena kami begitu menikmati suasana pada malam itu. Kota Bunga merupakan salah satu kawasan real estate dan objek wisata terkemuka. Tata letak yang sangat baik, dihiasi dengan berbagai macam bunga disepanjang jalan membuat mata kami merasa segar. Disana anda akan merasa berada diberbagai macam belahan dunia, karena disana terdapat berbagai macam replika rumah dan kawasan yang berada diberbagai penjuru dunia. Melewati gerbang kami merasakan seperti berada dikawasan Amerika, karena perumahan tipe Amerika yang berjajar rapi. Terus masuk kedalam, suasana khas perumahan Jepang begitu terasa dengan adanya replika arsitektur perumahan dikawasan Jepang dengan ciri khas jendela seperti kertas. Berbagai replika dari kawasan yang ada di penjuru dunia pun terus kami lewati, tak bisa semua itu diceritakan di lembaran kertas kecil ini, oleh karena itu jika kalian berminat menikmati keindahannya, kunjungilah objek wisata Kota Bunga yang berada di Cipanas-Puncak.
Kami terus berjalan, jarak yang kami tempuh pun sudah setengahya, tetapi hal yang paling tidak kami harapkan terjadi. Tetesan H¬2O pun berjatuhan dari langit, semakin lama semakin deras, kami pun memepercepat langkah kaki kami seiring dengan bertambah derasnya tetesan hujan, dan akhirnya kami berlari. Dimalam itu, kami sulit mencari tempat berteduh dikarenakan kerumunan yang penuh sesak. Seorang teman kami pun terpisah dan tertinggal. Tak lama setelah berlari, kami pun menemukan tempat berteduh disebuah teras rumah, tetapi teman kami masih belum menyusul. Beberapa saat kemudian dia pun datang dengan hanya mengenakan satu alas kaki, sementara yang lainnya dia jinjing ditangannya. Kami pun tertawa terbahak-bahak walaupun wajahnya terlihat pucat dan menyedihkan, tentu saja sebagai teman kami merasa iba dan kasihan, tetapi suasana pada saat itu sangat menyenangkan sehingga semua perasaan sedih itu tertutupi. Pegal menunggu kami pun melihat kesebuah sofa yang berada diteras tersebut. Sofa itu terlihat mewah dan mahal, dengan tubuh yang setengah basah kuyup kami pun duduk dengan santainya di sofa tersebut dan tidak mempedulikan lagi siapa dan apakah pemilik sofa itu mengizinkan kami bersantai disitu atau tidak. Tiba-tiba sang pemilik rumah pun keluar, memelototi kami dan meneriaki kami untuk pergi tanpa mempedulikan cuaca yang saat itu sedang hujan deras, merasa takut kami pun berlarian. Kami merasa kesal tetapi yang kami lakukan hanyalah tertawa, karena merasa telah melakukan tindakan konyol secara “berjamaah”.
Akhirnya kami pun sampai ke tempat pusat peluncuran kembang api dengan tepat waktu, saat itu hujan masih mengguyur tubuh kami, tapi rasa penasaran dan penantian kami yang sangat besar membuat semua itu tak terasa. Tahun baru pun tinggal beberapa menit lagi, kami pun merasa semakin excited menanti peluncuran kembang api yang kabarnya menghabiskan biaya 1 Milyar. 1 menit . . .30 detik . . .15 detik . . .5 detik . . .kami melakukan hitungan mundur, menyambut datangnya tahun baru, hitungan pun semakin mengecil dan akhirnya mencapai 3 angka terkecil, kami beserta semua orang lainnya pun berteriak menghitung mundur, tiga . . .! dua . . .! satu . . .! . Semua orang yang datang pada malam itu pun bersorak sorai, membunyikan terompet, berteriak, dan tersenyum, tentu saja kami pun tidak absen dalam menyumbang keramaian, kami berteriak kagum seiring dengan mengangkasanya bubuk mesiu yang meledak di langit dan membentuk sebuah bunga yang berwarna-warni, tetesan air hujan malah membuat suasana semakin indah. Spektakuler dan fantastis, hanya dua kata itulah yang dapat mewakili perasaan kami dan indahnya langit malam itu. Percikan api yang membentuk bunga itu begitu mempesona dan menyilaukan, kadangkala percikan itu jatuh hingga menyentuh tanah. Sekitar 30 menit kami hanya menengadah dan menganga menatap langit dan merasa kagum. 31 Desember – 1 Januari adalah saat dimana langit malam terasa begitu indah itulah yang kami katakan didalam hati. Kami berharap saat-saat seperti itu dapat terulang di tahun-tahun yang akan datang.
No comments:
Post a Comment